TINJAUAN
YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN AGAMA MELALUI PROSES MEDIASI
Mustaming[1]
Abstract:
Mediation as a Dispute Settlement
can be done by the Secretary of Justice or any other party outside of the
Court, as a result of the existence of the rule of law Mediation required.
Rules governing law Mediation in Indonesia, namely: 1) HIR Article 130 / Rb.g
Article 154, 2) UU No 30 /1999 on Arbitration and Dispute Resolution, 3) UU No.
1 / 1974 Psl 39, about the Wedding, KHI Psl 115, 131 (2), 143 (1-2), 1-4, and
PP No. 9, 1975 Psl 32, 4) SEMA No. 1/2002, on the First Floor Applying
Empowerment Secretary of the Board of Peace, and 5) PERMA No. 1 / 2008, about
the Court’s Mediation Procedure. Religion cour as a family justice should be
intended not as common. Meaning, only perform traditional judicial authority
and rigid in resolving family disputes submitted to it. However, religious
justice must go through in ways that do not cause damage to the spiritual and
social development of the family who is a seeker of justice. In addition,
religious justice must also directed the board preventive possibilities arise
for the family rift that would lead to family quarrels.
Keyword:
Mediation, Religious Court
Abstrak:
Mediasi sebagai salah satu
penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh Hakim di pengadilan atau pihak lain
yang berada di luar pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan mediasi
diperlukan aturan hukum. Aturan hukum yang mengatur mediasi di Indonesia,
yaitu: 1) HIR Pasal 130/Rb.g Pasal 154, 2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, 3)Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 39, Tentang Perkawinan, KHI Pasal 115, 131 (2) , 143 (1-2), 1- 4, dan PP
No. 9 Tahun 1975 Pasal 32 , 4) SEMA No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, dan 5) PERMA Nomor 1 Tahun
2008, tentang Prosedur mediasi di pengadilan. Peradilan agama sebagai peradilan
keluarga haruslah dimaksudkan tidak sebagai peradilan biasa. Maknanya, hanya
melaksanakan kekuasaan kehakiman secara tradisional dan kaku dalam
menyelesaikan sengketa keluarga yang diajukan kepadanya. Namun, peradilan agama
haruslah menempuh cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan rohani dan sosial
bagi para keluarga yang menjadi pencari keadilan. Di samping itu, peradilan
agama harus pula diarahkan sebagai lembaga preventif bagi
kemungkinan-kemungkinan timbulnya keretakan keluarga yang akan menjurus kepada
sengketa-sengketa keluarga.
Kata
Kunci: Mediasi, Pengadilan Agama
Pendahuluan
Sengketa
merupakan salah satu hal yang bisa muncul kapan saja dalam kehidupan manusia.
Sengketa dapat terjadi mulai dari lingkup keluarga hingga lingkup hukum. Sejak
dahulu, penyelesaian sengketa sudah ada dalam latar budaya masyarakat Indonesia
sebagai pola penyelesaian sengketa berdasarkan musyawarah, misalnya rembuk desa
dan kerapatan adat. Penyelesaian sengketa hukum yang paling sering dilakukan
dan paling dikenal oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang
tidak memberikan penyelesaian sebagaimana diinginkan oleh kedua belah pihak.
Penyelesaian sengketa di pengadilan juga dikenal memakan waktu yang cukup lama
dan biaya yang cukup mahal. Untuk mengakomodir keinginan-keinginan para pihak
ini, kemudian muncul beberapa alternatif untuk menyelesaikan sengketa antara
para pihak, untuk dimensi hukum perdata Islam maka arahnya ke Pengadilan Agama.
Upaya
Penyelesaikan sengketa atau perkara di Pengadilan, maka jalan pertama yang
ditempuh akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang bernama Mediasi dalam
menyelesaikan sengketa, perkara atau bahkan konflik.[2]
Merekonsiliasi dan memperbaiki hubungan antara pihak-pihak terkait sangat
diperlukan demi terciptanya kembali kehidupan yang harmonis, damai dan saling
pengertian, para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah swt ke dunia dengan tujuan
menebarkan Rahmat dan Kedamaian di muka bumi sebagaimana ditegaskan dalam QS.
Al-Anbiya /21 : 107
!$tBur
š»oYù=y™ö‘r& žwÎ) ZptHôqy‘ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Terjemahnya
”Tidak
Kami utus Engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadikan rahmat bagi sekalian
alam”.[3]
Perdamaian
adalah jawaban yang paling lembut sekaligus penyelesaian yang sama-sama
menguntungkan dan tidak ada yang merasa dipecundangi, dan rasa egoisme para
pihak akan sirna seiring dengan terpenuhinya perdamaian sehingga terbangun
nilai-nilai persaudaraan (ukhuwwah) yang lebih kuat. Menciptakan konsep
tersebut bukan hal yang mudah, karena masing-masing pihak telah terbius dengan
ambisi masing-masing untuk saling ingin menguasai dan mengalahkan. Islam
mengenal konsep perdamaian yang dikenal dengan istilah Shulhu/ Ishlah
sebagaimana dalam Q.S. Al-Hujurat /49:10
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat Rahmat”.[4]
Shulhu adalah “suatu proses penyelesaian sengketa dimana para
pihak mengakhiri perkara mereka secara damai”[5].
Shulhu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memikirkan jalan
terbaik dalam menyelesaikan sengketa yang dapat memuaskan para pihak yang
dilakukan secara sukarela tanpa ada paksaan. Sulhu menjadi sesuatu yang harus
ada diantara kaum muslimin, kecuali suatu perdamaian yang menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.[6]
Konsep shuhlu dalam Islam tidak berbeda dengan mediasi yang dipraktekkan
di sejumlah negara-negara di dunia.
Mediasi
adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator.[7]
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, seorang Mediator harus memahami
fungsi apa saja yang harus ia perankan dalam suatu proses Mediasi. Penerapan
konsep Mediasi akan membawa hasil maksimal apabila semua pihak mempunyai
komitmen yang sama, niat yang sama dan saling memahami draf-draf yang
disodorkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran yang positif
terhadap solusi yang ditawarkan para pihak sebagai mitra runding. Kesamaan ini
perlu dibangun agar sejak awal semua pihak tidak terjebak oleh egoisme semu dan
saling merasa paling benar. Mediasi akan berhasil jika semua pihak mempunyai
tekat untuk sepakat mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling
menguntungkan semua pihak. Agar semua pihak terikat dan dapat melaksanakan
hasil mediasi, maka materi perdamaian haruslah dituangkan dalam bentuk tulisan
yang transparan, sederhana, riil dan memiliki dasar hukum yang jelas.
Perdamaian yang dihasilkan melalui mediasi akan sangat membantu menyelesaikan
konflik dengan lebih singkat, mudah dan memupuk rasa persaudaraan.
Mediasi
merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah
serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan dan pengintegrasian
mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu alat
yang efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).
Mediasi akan terlaksana secara meyakinkan bila dilaksana-kan secara pribadi dan
rahasia. Kerahasian akan membantu Mediator untuk membangun kepercayaan dan
mengembangkan laporan konstruktif dengan pihak-pihak. Kerahasian juga akan
membuat aman bagi pihak-pihak untuk memberikan informasi, juga akan menciptakan
kondisi aman di mana pihak-pihak dapat mengemukakan kebutuhan dan
kepentingannya tanpa kekhawatiran akan dirugikan.
Pengertian
Mediasi
Secara
etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang
berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak. “Berada di tengah‟ juga bermakna mediator harus
berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia
harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan
sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.[8]
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan
kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan perselisihannya dimana hal ini sangat penting untuk
membedakan dengan bentuk-bentuk lainnnya seperti arbitrase, negoisasi,
ajudikasi dan lain-lain.
Menurut
Takdir Rahmadi mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua
pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak
netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut
mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.[9]
Lain halnya dengan pengertian mediasi oleh Jimmy Joses Sembiring bahwa mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantara pihak ketiga, yakni pihak
yang memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa
mereka.[10]
Di
Indonesia, pengertian mediasi secara lebih konkret dapat ditemukan dalam
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 butir 6). Mediator adalah
pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para
pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa (Pasal 1 butir
5)
Pengertian
mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Tahun 2003 tidak jauh berbeda dengan
esensi mediasi yang dikemukakan oleh para ahli resolusi konflik. Namun,
pengertian ini menekankan pada satu aspek penting yang mana mediator proaktif
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu
menemukan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa. Ia tidak hanya terikat
dan terfokus pada apa yang dimiliki oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa
mereka. Mediator harus mampu menawarkan solusi lain, ketika para pihak tidak
lagi memiliki alternatif penyelesaian sengketa, atau para pihak sudah mengalami
kesulitan atau bahkan terhenti (deadlock) dalam penyelesaian sengketa
mereka. Di sinilah peran penting mediator sebagai pihak ketiga yang netral
dalam membantu penyelesaian sengketa.
Ruang
Lingkup, dan Tujuan Mediasi
Mediasi
sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama
berupa wilayah privat atau perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa
keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, dan lingkungan hidup
serta berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur
mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dapat ditempuh pengadilan
maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan merupakan
bagian dari rentetan proses hukum di pengadilan, sedangkan bila mediasi
dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut merupakan bagian
tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.
Dalam
wilayah hukum privat, titik berat kepentingan terletak pada kepentingan
perorangan (pribadi). Dimensi privat cukup luas cakupannya yang meliputi
dimensi hukum keluarga, hukum kewarisan, hukum kekayaan, hukum perjanjian
(kontrak) bisnis, dan lainnya. Dalam dimensi hukum privat atau perdata, para
pihak yang bersengketa dapat melakukan penyelesaian sengketanya melalui jalur
hukum di pengadilan maupun di luar jalur pengadilan. Hal ini sangat
dimungkinkan karena hukum privat atau perdata, titik berat kepentingannya
terletak pada para pihak yang bersengketa, bukan negara atau kepentingan umum.
Oleh karena itu, tawar-menawar dan pembayaran sejumlah kompensasi untuk
menyelesaikan sengketa dapat terjadi dalam dimensi ini. Dalam hukum Islam, dimensi
perdata mengandung hak manusia (Haqqul, ibad) yang dapat dipertahankan
melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa.[11]
Dalam
perundang-undangan Indonesia ditegaskan ruang lingkup sengketa yang dapat
dijalankan kegiatan mediasi. Dalam UU No. 30 Tahun 2000 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa atau beda pendapat
perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan menyampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri (Pasal 6). Ketentuan dalam Pasal ini
memberi ruang gerak cukup luas, yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup perdata. Bahkan undang-undang ini memberikan penegasan
ruang lingkup yang berbeda antara arbitrase dan mediasi.
Hal
senada juga ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam Pasal 2 Perma No.2 Tahun 2003
disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator. Ketentuan Pasal ini menggambarkan bahwa ruang lingkup sengketa yang
dapat dimediasi adalah seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan
peradilan umum dan peradilan agama pada tingkat pertama
Tujuan
dilakukannya mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan
para pihak ketiga pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari,
mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak
pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang
dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa
proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator
tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu
para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai
mereka.
Penyelesaian
sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak
telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan
saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, di mana para pihak
belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah merasakan manfaatnya.
Kesediaan para pihak bertemu di dalam proses mediasi, paling tidak telah mampu
mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan di antara
mereka. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan
sengketa, namun mereka belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh
kedua belah pihak.
Prinsip-prinsip
dan Model-model Mediasi di Pengadilan
Dalam
berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi. Prinsip dasar (basic
principle) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan
mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus
diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari
arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.[12]
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang
lima prinsip tersebut adalah prinsip kerahasiaan (confidentiality),
prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment),
prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a
unique solution).[13]
Prinsip
pertama mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan
yang dimaksudkan di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa
tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak.
Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari ini mediasi
tersebut, serta sebaiknya ia lakukan. Mediator juga tidak dapat dipanggil
sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakarsai penyelesaiannya
melalui mediasi. Masing-masing pihak yang bertikai diharapkan saling
menghormati kerahasiaan tiap-tiap isu dan kepentingan masing-masing pihak.
Jaminan ini harus diberikan masing-masing pihak, sehingga mereka dapat
mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting untuk
menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.
Prinsip
kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke
mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada
paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan
ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan
keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas
pilihan mereka sendiri.
Prinsip
ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada
asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan
untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang
mereka inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diaku dan dihargai, dan
oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak
dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan
terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak
untuk menerima solusinya.
Prinsip
keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang
mediator hanya memfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik
para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses
berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak
layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu
pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan
penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
Prinsip
kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya solusi yang
dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetap
dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi
mungkin akan lebih banyak mengikuti keingingan kedua belah pihak, yang terkait
erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak.
Dalam
pelaksanaan mediasi di berbagai negara di dunia, proses pendamaian perkara di
pengadilan yang dilakukan oleh hakim terbagi menjadi beberapa bentuk yang
dipengaruhi oleh siapa yang menjadi mediator, gaya mediasi dilakukan, apakah
hakim boleh berperan menjadi mediator dalam kasus yang sama, serta jenis
kesepakatan yang dihasilkan. Empat bentuk atau model tersebut adalah:[14]
- Judicial settlement.
Model
ini lebih banyak dipakai di negara bersistem hukum Eropa Kontinental dimana
hakim diamanatkan oleh hukum tertulis untuk mencoba mendamaikan sengketa
sebelum memeriksa perkara. Namun belakangan, hakim di negara Anglo-Saxon mulai
memakai model ini berdasarkan diskresi mereka tanpa diwajibkan oleh peraturan
yang mengatur. Dalam sistem hukum Anglo-Saxon, model ini banyak dilakukan dalam
pemeriksaan perkara oleh juri (jury trial), ketika hakim merahukan
kemampuan pengacara para pihak melakukan negosiasi untuk kepentingan klien
mereka, atau ketika hakim meyakini kemampuan sendiri untuk menyelesaikan. Judicial
settlement hanya dilakukan di pengadilan dan dilakukan oleh hakim yang sama
yang akan memeriksa perkara. Jadi hakim tersebut berperan ganda sebagai
pendamai dan pemutus perkara. Dalam prakteknya, bentuk ini mempunyai gaya
direktif, legalistik, dan diselenggarakan dalam waktu singkat, walaupun
akhir-akhir ini sudah banyak mengalami variasi. Namun peran ganda hakim dalam model
ini menimbulkan kekhawatiran tentang perlakuan yang adil kepada para pihak.
- Judicial mediation.
Model
ini dilakukan oleh hakim yang bukan pemeriksa perkara setelah para pihak yang
bersengketa sepakat untuk mencoba mediasi. Apabila tidak berhasil mencapai
kesepakatan, maka mediator yudisial tersebut dilarang untuk ikut serta dalam
proses pemeriksaan perkara. Semua dokumen yang ada pada mediator yudisial
tersebut dimusnahkan setelah proses mediasi selesai. Pemisahan yang tegas
antara tugas hakim sebagai pendamai dan pemutus perkara diberlakukan. .
- Judicial moderation.
Judicial
moderation dikenal juga dengan nama conferencing
atau judicial dispute resolution. Teknik yang digunakan lebih luas
dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh judicial settlement atau judicial
mediation, meliputi investigasi perkara, memberikan arah dan nasehat,
menata sengketa, dan intervensi fasilitatif. Model ini tidak terbatas pada satu
proses. Moderator melakukan intervensi berdasarkan diskresi mereka disesuaikan
dengan kebutuhan para pihak.
- Facilitative judging.
Dalam
model ini, hakim tidak hanya dilatih keahlian pengambilan keputusan dan proses
adjudikasi tradisional, tetapi mereka juga dibekali kemampuan komunikasi dan
fasilitasi. Semua keahlian ini diberikan untuk membantu hakim dalam
menyelesaikan kasus. Model ini disebut juga mediative adjudication, circle
sentencing atau problem-solving courts. Tidak ada pemisahan antara
tugas hakim yang sama bisa memediasi dan memeriksa perkara. Facilitative
judging mempunyai sejarah yang panjang di negara China dan negara Asia
lainnya. Model ini juga semakin banyak dipakai di Australia dan Amerika
Serikat.
Berdasarkan
empat kategori di atas, terminologi yang digunakan sesuai dengan kondisi
Indonesia adalah judicial mediation dimana proses mediasi secara tegas
memisahkan peran ganda hakim yaitu sebagai pendamai, dan pemutus perkara.
Tinjauan
Yuridis tentang Mediasi sebagai Penyelesaian Sengketa
Perundang-undangan
Indonesia mengandung prinsip bahwa Musyawarah dan Mufakat yang berujung damai
juga digunakan dalam lingkungan Peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa
perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan Perundang-undangan sejak masa
Kolonial Belanda sampai sekarang. Mediasi dengan landasan Musyawarah menuju
Kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum
Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum Indonesia sekarang. Pengaturan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, karena
Indonesia merupakan Negara Hukum. Mediasi sebagai Institusi Penyelesaian
Sengketa dapat dilakukan oleh Hakim di Pengadilan atau pihak lain yang berada
di luar Pengadilan, akibat dari itu dalam keberadaan Mediasi diperlukan aturan
hukum. Untuk itu Pemerintah Indonesia memberlakukan aturan yang mengatur
Mediasi di Indonesia, yaitu:
- HIR Pasal 130/Rb.g Pasal 154.
Sebenarnya
sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki
penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: Jika
pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri
dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Selanjutnya ayat
(2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada
waktu bersidang, diperbuat sebuah (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah
pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan
berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
Dari
bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata menghendaki penyelesaian
perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda melalui Reglement op deburgerlijke Rechtvordering atau
disingkat Rv. Pada tahun 1894, menjelaskan bahwa penyelesaian perkara dengan
cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal di atas sebagai berikut: (1)
jikapada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan
negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, (2) Jika
perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,diperbuat
sebuah surat(akte)tentang itu, dalammana kedua belah pihak dihukum akan
menepati perjanjian yang diperbuatitu, surat mana akanberkekuatan dan akan
dijalankan sebagai putusan yang biasa, (3) Keputusan yang sedemikian itu tidak
dapat diijinkan dibanding, (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua
belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang
berikut dituruti untuk itu.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase danAlternatif Penyelesaian Sengketa
(selanjutnyadisingkat UU No. 30 Thn 1999) sebagai dasar pelaksanaan Mediasi
diluar Pengadilan tidak ditemukan batasan-batasan penyelesaian sengketa melalui
Mediasi secara jelas, namun secara implisit batasan Mediasi tertuang dalam
pasal 6 ayat (1) berbunyi: “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada i’tikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara
litigasi di Pengadilan Negeri”. Ketentuan dalam pasal tersebut memberi ruang
gerak Mediasi yang cukup luas yaitu seluruh perbuatan hukum yang termasuk dalam
ruang lingkup perdata, bahkan undang-undang ini memberikan penegasan ruang
lingkup yang berbeda antara arbitrase dengan Mediasi, sebagaimana yang
ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) : Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa”.
Ketentuan
ini memberikan rincian khusus ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan
melalu jalur Arbitrase, berbeda dengaan Mediasi yang kelihatanya lebih luas
ruang lingkupnya dalam bidang perdata, sebagaimana yang termuat dalam pasal 1
butir (1); “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, Mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli”.
Selain
yang di atur dalam undang-undang tersebut, diatur juga penyelesaian sengketa
melalu dading dengan berdasarkan Pasal 1338, 1851-18 4 KUH Perdata. Pasal 1338
KUH Perdata menjelaskan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undan bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan seperti ini
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39, Tentang Perkawinan, KHI Pasal 115, 131 (2) , 143 (1-2), 1- 4, dan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 32
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 tentang perkawinan menyebut-kan perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belahpihak. Peraturan Pemerintah
dan pasal 143 (1-2), Kompilasi Hukum Islam sebagaimana di atas menyebutkan
bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan
dijatuhkan. Usaha untuk mendamaiakan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada
setiap pemerikasaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula
menghadirkan keluarga atau orang-orang yang terdekat dari pihak yang berperkara
untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga
agar mereka dapat berdamai. Jika upaya ini tetap gagal maka barulah dilakukan
penyelesaian hukum secara ligitasi.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 31 ayat (1) hakim yang memeriksa berusaha
mendamaikan kedua pihak. Ayat (2) selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaiakan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Pasal 32 yaitu
apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah
diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamian. Pasal 33 berbunyi
apabila tidak dapat dicapai perdamaian pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang tertutup.
- SEMA No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Surat
Edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam
menerapkan upaya damai (lembaga dading) sebagaimana ditentuan dalam pasal 130
HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di
Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini
mencakup:
- Upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas,
- Melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau Mediator, tetapi bukan hakim majelis (namun hasil Rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan.
- Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun Mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itu dengan persetujuan ketua Pengadilan, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992
- Persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati,
- Apabila Mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua Pengadilan/ketua Majelis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung, dan
- Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/Mediator.
- PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA
Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diperuntukkan untuk
mengisi kekosongan hukum terhadap pengaturan prosedur Mediasi yang terintegrasi
ke dalam proses litigasi, karena belum adanya aturan yang memfasilitasi perihal
bagaimana tata cara melakukan Mediasi yang terintegrasi ke dalam proses
litigasi. HIR dan R.bg memang mewajibkan pengadilan untuk terlebih dahulu
mendamaikan para pihak sebelum perkara diputus, tetapi HIR dan R.bg tidak
mengatur secara rinci prosedur perdamaian yang difasilitasi oleh pihak ketiga.
Selain untuk mengurangi penumpukan perkara pada tingkat kasasi, asa cepat,
sederhana, biaya ringanpun dapat dioptimalkan melalui proses Mediasi.
Penerbitan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
pengadilan didorong oleh keberhasilan negara-negara lain dalam menerapkan
aturan tersebut, seperti; Jepang, Amerika Serikat, Singapore, dll. Saat ini
Mediasi yang terintegrasi dengan proses litigasi baru dinaungi oleh
peraturan Mahkamah Agung. Idealnya, pengaturan Mediasi yang terintegrasi dengan
proses litigasi diatur oleh undang-undang, sebagaimana halnya Mediasi
yang di luar peradilan sudah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008, prosedur Mediasi wajib dilakukan dalam
menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 13, pasal 2, dan pasal 4
Pasal
I butir (13) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 pengadilan adalah
pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum dan agama. Pasal 2
ayat (1) peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait
dengan proses berperkara di pengadilan. (2) setiap Hakim, mediator dan para
pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
diatur dalam peraturan ini. (3) tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
peraturan ini merupakan pelanggaran pasal 130 HIR dan atau 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demi hokum. (4) hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui
mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Dengan
berlakunya peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang
prosedur mediasi di pengadilan dinyatakan tidak berlaku sebagai aturan
pelaksanaan mediasi yang diintegrasikan di pengadilan secara tegas menentukan
ruang lingkup mediasi, dimana mediasi dilakukan terhadap semua sengketa
perdata, sebagaimana yang tersebut dalam pasal 4 yang berbunyi
“
Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa
perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu
diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan Mediator”
Ketentuan
pasal ini menggambarkan ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah
seluruh perkara perdata yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan
Agama. Mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memiliki ruang
lingkup utama berupa wilayah hukum privat/Perdata. Sengketa-sengketa perdata
berupa sengketa keluarga, waris, bisnis, kontrak, perbankan dan berbagai jenis
sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur Mediasi.
Kebijakan
Mahkamah Agung mewajibkan proses Mediasi sebelum perkara diputus, setidaknya
didasarkan pada dua alasan yaitu:
- Mahkamah Agung telah mengalami penumpukan perkara yang berkelanjutan, Keadaan ini menyedot sumber daya dan menyebabkan cita-cita mewujudkan peradilan yang cepat dan murah tidak dapat diwujudkan. Dengan memberlakukan Mediasi diharapkan permasalahan penumpukan perkara dapat dicegah karena dengan tercapainya kesepakatan perdamaian, para pihak tidak akan mengajukan perlawanan hukum hingga ke Mahkamah Agung.
- Pengintegrasian Mediasi ke dalam proses peradilan dapat memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan adil menurut para pihak sendiri.[15]
PERMA
No.1 Tahun 2008 tersebut juga memberi peluang bagi para pihak bersengketa untuk
menggunakan Mediasi sampai pada tingkat paling akhir berperkara sepanjang
perkara belum diputus, sebagaimana yang diaturdalam pasal 21 ayat (1)
berbunyi;“ Para pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya
perdamaian terhadap perkara yang sedangdalam proses banding, kasasi atau
peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada
tingkatbanding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus”.
Cakupan
ruang lingkup Mediasi baik Mediasi yang diselenggarakan diluar pengadilan
maupun Mediasi yang diselenggarakan di pengadilan sangatluas. Penyelesaian
sengketa melalui Mediasi terbagi dalam dua bagian yaitu, Mediasi di luar
Pengadilan dan Mediasi dipengadilan. Sedangkan Mediasi di luar pengadilan
merupakan Mediasi para pihak yang tidak terikat dengan hukum acara dipengadilan
oleh karena para pihak belum sampai kepada pengajuan permohonan atau gugatan. Akan
tetapi PERMA mengatur perdamaian yang telah dilakukan diluar pengadilan dapat
dimintakan akta perdamaian di pengadilan dengan terlebih dahulu mengajukan
permohonan atau gugatan. sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1)
disebutkan: “Para pihak dengan bantuan Mediator bersertifikat yang berhasil
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut kepengadilan yang berwenang untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan”.
Tahapan
dan Proses Mediasi di Pengadilan
Adapun
prosedur dan tahapan mediasi di pengadilan diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 14
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Mediasi di pengadilan dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pra
mediasi dan tahapan pelaksanaan mediasi. Tahap pramediasi adalah tahap di mana
para pihak mendapatkan tawaran dari hakim untuk menggunakan jalur mediasi dan
para pihak menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang akan membantu
menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam
pra mediasi, hakim memberikan waktu satu hari kerja kepada pihak setelah sidang
pertama untuk memilih dan menunjuk mediator di luar pengadilan. Dalam tahap
pelaksanaan mediasi, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 memberikan
batas waktu yang berbeda antara mediasi yang menggunakan mediator yang
disediakan pengadilan dengan mediasi yang menggunakan mediator di luar
pengadilan. Bagi para pihak yang menggunakan mediator di pengadilan diberikan
waktu penyelenggaran mediasi paling lama 22 hari kerja sejak pemilihan atau
penetapan penunjukan mediator. Bagi para pihak yang menggunakan mediator diluar
daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, berlangsung paling lama 30 hari
kerja untuk menyelenggarakan mediasi.
Dalam
waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator,
para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara,
fotokopi surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa
kepada mediator (Pasal 8). Dokumen ini sangat penting bagi mediator untuk
mempelajari duduk perkara, sehingga ia dapat menentukan faktor penyebab
terjadinya sengketa antar para pihak. Mediator harus mempelajari secara
sungguh-sungguh seluruh dimensi yang berkaitan dengan perkara yang menjadi
pokok sengketa para pihak. Para pihak harus menyerahkan seluruh dokumen dan
surat-surat penting yang berkaitan dengan perkaranya kepada mediator. Di
samping itu, sesama para pihak juga diharapkan saling memberikan dokumen atau
surat-surat yang berkaitan dengan pokok sengketa, sehingga para pihak sama-sama
saling mempelari berkas satu sama lain.
Jika
mediator merasakan cukup atas informasi yang diperoleh dari jumlah dari
sejumlah dokumen dan surat dari para pihak, maka tugas mediator adalah menentukan
jadwal pertemuan denga para pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan proses
mediasi. Pada saat itulah mediator memberikan penjelasan mengenai posisi
dirinya dalam rangka membantu para pihak menemukan solusi terhadap sengketa
mereka, mengemukakan aturan mediasi yang dapat disepakati bersama dan
menekankan bahwa otoritas pengambilan keputusan tetap berada di tangan para
pihak. Dalam proses mediasi tersebut para pihak dapat didampingi oleh kuasa
hukumnya. Keberadaan kuasa hukum dalam suatu proses mediasi harus mendapatkan
persetujuan para pihak lain, karena kalau tidak akan mempersulit langkah
mediasi dan bahkan dapat terancam gagalnya mediasi. Jelasnya keberadaan orang
lain selain para pihak dan mediator dalam proses mediasi mendapat persetujuan bersama
para pihak.
Dalam
menjalankan proses mediasi, mediator diberikan kebebasan untuk menciptakan
sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak menemukan kesepakatan yang dapat
mengakhiri sengketa mereka. Mediator harus sungguh-sungguh mendorong para pihak
untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri
persengketaan. Jika dalam proses mediasi terjadi perundingan yang menegangkan,
mediator dapat menghentikan mediasi untuk beberapa saat guna meredam suasana
agak lebih kondusif. Bahkan Pasal 9 Ayat (1) Perma memberikan kesempatan bagi
mediator untuk melakukan kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan
salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Keputusan
melakukan kaukus berada di tangan mediator, dan sebaiknya juga harus mendapat
tujuan dengan para pihak. Mediator harus mempertimbangkan sisi positif dan sisi
negatif bila kaukus diselenggarakan, karena penyelenggaran kaukus kadang-kadang
juga menimbulkan kecurigaan salah satu pihak kepada mediator atau kepada pihak
lain. Namun, pada sisi lain kaukus diperlukan, karena dapat mengantisipasi
situasi di mana para pihak tidak dapat saling dipertemukan secara berhadapan.
Selain
kaukus, dalam rangka memperlancar proses mediasi dan membantu para pihak,
mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam
menyelesaikan beda pendapat mereka. Menghadirkan seorang atau lebih ahli dalam
proses mediasi harus mendapat persetujuan dari para pihak, dan jika tidak
diizinkan maka ahli tidak dapat dihadirkan dalam proses mediasi. Biaya jasa
seorang atau lebih ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
(Pasal 10 Perma).
Jika
mediasi menghasilkan kesepakatann, maka para pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang ditandatangani oleh para
pihak. Kesepakatan tersebut memuat antara lain;
- Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
- Nama lengkap dan tempat tinggal mediator;
- Uraian singkat masalah yang dipersengketakan;
- Pendirian para pihak;
- Pertimbangan dan kesimpulan mediator;
- Pernyataan kesedian melaksanakan kesepakatan;
- Pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak bersedia menanggung semua biaya mediasi (bila mediator berasal dari luar pengadilan);
- Larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang menyinggung atau menyerang pribadi;
- Kehadiran pengamat atau tenaga ahli (bila ada);
- Larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil kesepakatan;
- Tempat para pihak melaksanakan perundingan (kesepakatan);
- Batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan; dan
- Klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
Urutan
di atas digunakan untuk menyusun sejumlah kesepakatan tertulis sebagai hasil
dari proses mediasi, baik mediasi yang terdapat di pengadilan maupun di luar
pengadilan. Bagi mediasi yang dilakukan di pengadilan harus memuat klausul yang
terakhir yaitu “pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.”
Adapun kekuatan putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa. dan dapat
dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya.[16]
Hal ini penting bagi mediasi yang dilakukan di pengadilan, karena mediasi pada
pengadilan adalah bagian dari proses pemeriksaan perkara. Proses pemeriksaan
perkara sudah dimulai di pengadilan, dan bila kesepakatan dicapai dalam proses
mediasi, maka para pihak harus menyatakan bahwa proses pemeriksaan perkara
selesai dan tidak dilanjutkan lagi. Ini merupakan kehendak dari para pihak yang
harus dituangkan secara tertulis, dan hakim akan menjadikan pegangan untuk
menghentikan perkara yang sedang digelar.
Pelaksanaan
mediasi pada sidang-sidang selanjutnya tidak diperlukan lagi walaupun ada
rekonvensi atau intervensi. Apabila pihak menghendaki mediasi di luar
pengadilan (non litigasi) dapat diperkenankan sepanjang tidak mengganggu tahap
persidangan yang berjalan. Mediasi yang menempuh jalur di luar pengadilan,
dalam kesepakatan tertulisnya tidak perlu memuat klausul “pencabutan perkara
atau pernyataan perkara telah selesai”, karena sengketa mereka memang
belum/tidak didaftarkan di pengadilan. Dalam pencapaian kesepakatan mediasi yang
paling penting adalah iktikad baik dari pihak untuk melaksanakan isi mediasi,
karena mereka sendiri yang melaksanakan kesepakatan tersebut. Sejatinya,
pelaksanaan isi kesepakatan mediasi tidak terlalu lama berselang waktunya,
sejak penandatangan mediasi dilakukan oleh para pihak. Tenggang waktu
pelaksanaan kesepakatan yang terlalu lama, akan menimbulkan kekhawatiran adanya
pengaruh pihak lain kepada satu pihak, sehingga akan menyulitkan mereka dalam
pelaksanaan kesepakatan. Meskipun demikian, pelaksanaan kesepakatan mediasi
dapat dimintakan upaya paksa dari ketua pengadilan, jika salah satu pihak tidak
bersedia menjalankan isi kesepakatan, sebagaimana yang telah ia tanda tangani.
Agar
hasil kesepakatan mediasi tidak menghadapi masalah dalam implementasi, maka
diharapkan para pihak yang telah merumuskan kesepakatan perlu mempelajari
secara hati-hati hasil rumusannya tersebut sebelum ditandatangani. Karena
ketika mereka telah menandatangani kesepakatan tersebut, maka mereka tidak
dapat menarik kembali kesepakatan itu. Pemeriksaan kembali terhadap materi
kesepakatan sebelum ditandatangani, tidak hanya dilakukan oleh para pihak
tetapi juga oleh mediator. Pemeriksaan materi kesepakatan oleh mediator
diperlukan guna menghindari adanya materi kesepakatan yang bertentangan dengan
hukum. Dalam Pasal 11 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 tahun 2003
menegaskan bahwa sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib
memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang
bertentangan dengan hukum.
Kesepakatan
yang telah diambil dan ditandatangani para pihak dalam proses mediasi harus
dilaporkan kepada hakim untuk dapat ditetapkan dalam akta perdamaian. Mediasi
di pengadilan sebagai bagian integral dan proses beracara di pengadilan, mengharuskan
mediator dan para pihak terikat dengan proses hukum di pengadilan. Mediator
dan/atau para pihak perlu melaporkan kepada hakim secepatnya, sehingga hakim
dapat menggelar sidang guna mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta
perdamaian. Bila kesepakatan tersebut sudah dikukuhkan dalam akta perdamaian,
maka secaraformal mediasi sudah selesai dan proses sidang di pengadilan pun
sudah berakhir. Pengukuhan kesepakatan mediasi dalam bentuk akta perdamaian,
dengan sendirinya akan mengakhiri persengketaan yang terjadi anta para pihak.
Proses
mediasi di pengadilan baik yang mencapai kesepakatan maupun yang tidak mencapai
kesepakatan (gagal), mediator tetap harus memberitahukan kepada hakim dalam
masa waktu 22 hari kerja sejak pemilihan atau penunjukan mediator.
Pemberitahuan dimaksudkan agar hakim dapat mengetahui apakah sidang terhadap
perkara yang sedang dimediasi dilanjutkan atau sudah dapat ditutup. Bila
kesepakatan diperoleh, maka hakim akan mengakhiri proses sidang di pengadilan,
sebaliknya bila mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka sidang akan terus
dilanjutkan di mana hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara berdasarkan
hukum acara yang berlaku.
Dalam
Pasal 13 Perma Nomor 2 tahun 2003 disebutkan bahwa jika para pihak gagal
mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan atau perkara lainnya. Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan
mediator wajib dimusnahkan, dan mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan.
Ketentuan
Pasal 13 di atas menggambarkan bahwa proses mediasi adalah proses rahasia dan
tertutup, di mana publik tidak dapat mengetahui pokok persengketaan yang
terjadi di antara para pihak. Mediator dan para pihak sama-sama memiliki
komitmen untuk tidak membuka rahasia mereka masing-masing kepada publik.
Kerahasiaan inilah yang mebedakan proses mediasi dengan proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan. Proses penyelasaian perkara di pengadilan menganut
asas terbuka untuk umum. Masyarakat atau publik dapat mengakses seluruh proses
pemeriksaan di pengadilan. Para pihak tidak dapat melarang publik untuk tidak
mengakses persengketaan mereka yang sedang berjalan di pengadilan. Bahkan kalau
pengadilan menyelenggarakan proses pemeriksaan secara tertutup, maka proses
tersebut melanggar asas dan batal demi hukum, kecuali terdapat ketentuan yang
secara khusus dalam undang-undang memperbolehkan pemeriksaan sidang pengadilan
secara tertutup.
Pernyataan
dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan alat bukti
dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya, karena
dalam proses mediasi bukan untuk membuktikan fakta hukum, mencari siapa yang
benar dan siapa yang salah, tetapi yang ingin ditemukan para pihak adalah jalan
yang memungkinkan mereka merumuskan kesepakatan. Mereka perlu memberikan
pernyataan dan pengakuan yang tulus dalam rangka memudahkan mereka mewujudkan
kesepakatan. Pernyataan yang diberikan para pihak atau salah satu pihak dalam
mediasi, semata-mata mempertimbangkan agar opsi-opsi penyelesaian yang
ditawarkan oleh salah satu pihak dapat disepakati secara bersama. Oleh karena
itu, pernyataan yang diberikan para pihak dalam proses mediasi bukanlah
pernyataan yang mengikat secara hukum, tetapi pernyataan yang ditujukan untuk
menyelamatkan proses mediasi. Bila kesepakatan damai terwujud, maka dengan
sendirinya persengketaan akan berakhir.
Fotokopi
dokumen dan netulen atau catatan yang ada selama dalam mediasi tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti, karena sifatnya tidak mengikat. Dalam praktik
mediasi, biasanya catatan mediator dan/atau para pihak yang ada dalam proses
mediasi dimusnahkan setelah selesai tahap demi tahap. Pemusnahan seluruh
catatan dokumen dilakukan setelah kesepakatan akhir dicapai, sehingga yang
tinggal hanyalah kesepakatan damai tertulis atau akta perdamaian yang dibuatkan
oleh hakim berdasarkan kesepakatan para pihak. Bila mediasi gagal dan proses
pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh hakim, maka mediator tidak dapat
dimintakan sebagai saksi terhadap perkara yang ia mediasikan, karena ia sudah
mengetahui seluruh sengketa para pihak dan akan menyulitkannya dalam memberikan
keterangan.
Prinsip
lain dari mediasi adalah tertutup dalam proses perundingan, kecuali disepakati
oleh kedua belah pihak. Mediator harus memegang teguh prinsip ini, karena para
pihak merasa tidak nyaman bila proses mediasi disaksikan atau diketahui oleh
publik. Dalam Pasal 14 Ayat (1) Perma Nomor 2 tahun 2003 disebutkan bahwa
proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para
pihak menghendaki lain. Mediasi juga memiliki asas terbuka untuk umum dalam
sengketa publik. Sengketa publik adalah sengketa di bidang lingkungan hidup,
hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan, dan perburuhan yang
melibatkan banyak buruh. Dalam bidang ini publik dapat mengakses secara
langsung setiap langkah dari proses mediasi.
Kewenangan
Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa
Secara
teoritis, penyelesaian sengketa melalui Mediasi di Pengadilan Agama membawa
sejumlah keuntungan, di antaranya perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan
biaya ringan dan mengurangi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008,
menyebutkan bahwa Mediasi sudah dimasukkan ke dalam proses peradilan formal
dalam Pasal 2 ayat (1) yang menegaskan bahwa semua perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan wajib didahulukan penyelesaian melalui perdamaian dengan
bantuan Mediator. Tidak menempuh prosedur Mediasi berdasarkan peraturan ini
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau 154 R.Bg yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman secara tegas kewenangannya
diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Kewenangan Pengadilan
Agama dapat diketahui dari ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50 Pasal 49
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1)
Perkawinan, 2) Waris, 3) Wasiat, 4) Hibah, 5) Wakaf, 6) Zakat, 7) Infaq, 8)
Shadaqah, dan 9) Ekonomi Syariah.[17]
Beberapa
perkara di Pengadilan Agama yang tidak wajib Mediasi, yaitu “Perkara volunteer
(perkara yang tidak mengandung sengketa tetapi ada kepentingan hukum serta
diatur dalam Undang-undang) dan perkara yang menyangkut legalitas hukum,
seperti Itsbat nikah, pembatalan nikah, hibah dan wasiat serta perkara yang
salah satu pihaknya tidak hadir di persidangan”.[18]
Dari luasnya kewenangan Pengadilan Agama saat ini, yang juga meliputi perkara
di bidang ekonomi syariah berarti juga perlu mengalami perluasan terhadap
pengertian asas personalitas keislaman di atas yang telah diantisipasi dalam
penjelasan Pasal I angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ini
yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan: “antara orang-orang yang beragama
Islam” adalah termasuk orang-orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan mutlak (kompetensi absolut)
peradilan agama meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti tercantum dalam
Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. U4U No. 3 Tahun 2006 dan berdasar
atas asas personalitas keislaman yang telah diperluas. Dengan kata lain,
bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang menjadi kewenangan absolute.
Peradilan Agama adalah tidak hanya bidang hukum keluarga saja dari orang-orang
berkeluarga Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Syahrizal Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Jakarta:Kencana, 2009
Arifin,
Busthanul Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Hamzah,
Andi Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: SinarGrafika, 2005), hal. 29.
Hoynes.
John Michael et.all, Mediation: Positive Conflict Management, (New York:
SUNY Press, 2004) dalam Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum
Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Jacqueline
M. Nolan–Hlmey,Alternative Dispute Resolution ina Nutshell St.
Paul–Minnesota:West Publishing Co,1992
Keputusan
Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang
Pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan
Megadianty,
Siti Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Jakarta:
Indonesian Center Environmental Law,1977
Mertokusumo,
Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2009
More,
Christopher W Mediasi lingkungan, Jakarta: Indonesian Centre for
Environmental Law dan CDR Associates,1995
PERMA
No. 1 tahun 2008, tentang Prosedur Mediasidi Pengadilan Pasal 2 ayat 3.
PERMA
No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasidi Pengadilan Pasal 1 angka 7
Rahmadi,
Takdir Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2010
Saleh,
Wantjik Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990
Sembiring,
Jimmy Joses. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta:
Visi media, 2011
Soesilo,
R. RBG/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politea, 1985
Surbakti,
Ramlan Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
1992.
Syekh
al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam Juz 4 Mesir:
Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975
Undang-Undang
No. 3 tahun 2006, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Tentang Peradilan Agama
[2] Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah,
Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta:Kencana, 2009), h.22.
[6] Syekh al-ImamMuhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam
Juz 4 (Mesir: Syarikat Maktabah Mustafa al-Himabi, 1975). h.59.
[9] Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui
Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 12-13.
[10] Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di
Luar Pengadilan, (Jakarta: Visi media, 2011), h. 27
[12] John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang,
Mediation: Positive Conflict Management, (New York: SUNY Press, 2004) dalam
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h 28
[14] Alexander, International and Comparative Mediation: Legal
Perspectives, dalam Fatahillah A. Syukur. Mediasi Yudisial Di Indonesia,
(Bandung: Mandar Maju, 2012) h. 33-35,
[16] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2009), h. 113.
[17] Undang-Undang No. 3 tahun 2006,Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama
[18] Keputusan Mahkamah agung Republik Indonesia Nomor:
KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Pengadilan, h.83.