KONSULTAN HUKUM MOHAMAD YUSUP, SH.,LL.M.

Berkomitmen Memberikan Jasa Hukum Secara Profesional

Minggu, 27 Maret 2016

LEGAL OPINION Sengketa Perseliihan Hunungan Industrial di PT XXXXXXXXX


LEGAL OPINION
Sengketa Perseliihan Hunungan Industrial di PT XXXXXXXXX


I.                   PERMASALAHAN

1.      Apakah Keputusan PT XXXXXXXXX yang melakukan Pembebasan Tugas Sementara (skorsing) terhadap karyawan bernama Sdr.XXXXXXXX telah sesuai dengan hukum?
2.      Apakah Keputusan PT XXXXXXXXX yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja berdasarkan kesalahan berat terhadap karyawan XXXXXXXX sudah sesuai dan benar secara hukum ? dan bagaiamana langkah hukum yang harus dilakukan oleh PT XXXXXXXXX dalam menanggapi gugatan Pemutusan hubungan Kerja oleh Pekerja XXXXXXXX pada Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Serang Banten ?

II.                DASAR PERUNDANG-UNDANGAN

-          Undang-Undang Republik Indonesianomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
-          Undang-Undang Republik Indonesianomor  2  Tahun  2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
-          Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Se-13/Men/Sj-Hk/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
III.             DATA-DATA DAN DOKUMEN YANG DIPERIKSA

1.      Surat Keputusan Direksi PT XXXXXXXXX No: 29 /C/DU-KW/KPTS/III/2000Tentang Pengangkatan Status Karyawan Organik Masa Percobaan Menjadi Karyawan tetap (organik);
2.      Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014
3.      Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014
4.      Surat Keputusan Direksi PT XXXXXXXXX No: 058B/DU-KW/KPTS/IV/2015 Tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat;
5.      Risalah Bipartit
6.      Risalah Mediasi
7.      Anjuran Pemerintah Kota Cilegon Dinas Tenaga Kerja No 560/ 715/ Hubin tertangal 26 Februari 2015
8.      Serta dokumen-dokumen perincian hak-hak Pekerja XXXXXXXX


IV.             KASUS POSISI
-       Bahwa sekitar bulan Juli 2014 PT XXXXXXXXX kehilangan barang hasil produksi senilai kurang lebih Rp. 15.000.000.000,-, yang diduga dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama melibatkan orang dalam perusahaan (karyawan);
-       Bahwa Sdr.XXXXXXXX, pekerja / Karyawan PT XXXXXXXXX, dengan status tenaga kerja organic / tetap, NIK: 990050, Tanggal lahir: 27 Oktober 1966 dan mempunyai masa kerja di perusahaan selama 15 Tahun 06 Bulan ( terhitung sejak tanggal 25-10-1999 sampai dengan 05-04-2015), dengan gaji terakhir Rp.3.866.711,- , diduga  telah melakukan penyalahgunaan jabatan serta telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan;
-       Bahwa telah terjadi perselisihan hubungan industrial antara perusahaan dengan karyawan sebagai akibat dari adanya indikasi bahwa karyawan tersebut telah melakukan
-       Bahwa atas penyalahgunaan jabatan tersebut XXXXXXXX telah melanggar Perjanjian Kerja Bersama, melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22  yang berbunyi setiap pekerja yang:  (i) mengetahui namun membiarkan suatu peristiwa / perbuatan yang dilakukan oleh rekan kerja serta pihak eksternal terkait yang menyebabkan kerugan bagi perusahaan, dan (ii) menerima uang dari rekan kerja dan / atau pihak eksternal terkait yang melakukan perbuatan/ peristiwa yang merugikan perusahaan tersebut. 
-       dan olehkarenya berdasarkan Pasal 97 ayat 3 huruf c  Perjanjian Kerja bersama, pekerja dapat diberikan sanksi yakni: perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat (PHK);
-       Bahwa akibat perbuatan XXXXXXXX (Pekerja) yang telah merugikan perusahaan, Perusahaan menerbitkan Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014 yang berlaku 30 Juni 2014 sampai dengan 6 (enam) bulan kedepan, yang kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014;
-       bahwa pada tanggal 21 November 2014 dilakukan proses bipateri namun tidak terdapat titik temu;
-       pada 2 Desember 2014 mulai dilakukan mediasi namun juga tidak diperoleh kesepakatan bersama yang akhirnya Pemerintah Kota Cilegon Dinas Tenaga Kerja menerbitkan anjuran No 560/ 715/ Hubin tertangal 26 Februari 2015. Yang pada pokoknya berisi: (1) agar pihak PT XXXXXXXXX mempekerjakan kembali Sdr. XXXXXXXX, (2) agar pihak PT XXXXXXXXX membayarkan upah skirsing kepada pekerja/ buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/ buruh;
-       pada tanggal 06 April 2015 perusahaan menerbitkan Surat Keputusan Direksi PT XXXXXXXXX No: 058B/DU-KW/KPTS/IV/2015 Tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat;
-       pekerja mengajukan gugatan gugatan Pemutusan hubungan Kerja oleh Pekerja XXXXXXXX pada Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Serang Banten, sebagaimana register perkara Nomor: 28/ Pdt.sus-PHI/2015/PN.Srg, yang dalam petitumnya meminta: (1) agar pihak PT XXXXXXXXX mempekerjakan kembali Sdr. XXXXXXXX, (2) agar pihak PT XXXXXXXXX membayarkan upah skirsing kepada pekerja/ buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/ buruh;



V.                ANALISA HUKUM
A.    Penerapan Skorsing Terhadap Pekerja 

Tindakan skorsing diperbolehkan oleh undang-undang, asalkan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima oleh karyawan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi ketentuan pasal tersebut tidak menjelaskan sampai kapan upah beserta hak-hak lain harus tetap dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan yang sedang diskorsing.
Pada dasarnya Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Namun demikian Tindakan skorsing diperbolehkan oleh undang-undang, asalkan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima oleh karyawan, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Berkaitan dengan keputusan perusahaan yang menjatuhkan skorsing kepada XXXXXXXX, dengan memberikan/ membayarkan upah sebesar 75 % dari gaji pokok maka kami berpendapat bahwa tidakan perusahaan bertentangan dengan  ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003, hal tersebut dikarenakan dalam pasal tersebut diterangkan bahwa “tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”. Ketentuan tersebut secara jelas mewajibkan perusahaan untuk membayarkan upah pekerja tersebut secara penuh (100% upah). Sedang yang dimaksud upah yang harus dibayar dalam hal ini adalah komponen upah pokok dan tunjangan tetap.
Pertanyaan lebih lanjut adalah sampai kapan kewajiban perusahaan untuk membayar upah bagi pekerja? Pertanyaan terebut dapat dijawab dari Pasal 155 ayat (2) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menerangkan bahwa “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011, tentang permohonan Pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, tanggal 19 September 2011, yang amar putusannya menyatakan:
Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’.

Dengan putusan tersebut batas waktu pembayaran upah skorsing atau upah proses terhadap pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengalami perubahan. Oleh karena penafsiran Pasal 155 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai anak kalimat “belum ditetapkan” harus dimaknai “belum berkekuatan hukum tetap”.
Pertanyaan selanjutnya adalah kapan putusan PHI mengenai perselisihan PHK dinyatakan berkekuatan hukum tetap? Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum tetap apabila memenuhi salah satu dari dua syarat berikut ini. Pertama, salah satu pihak tidak mengajukan kasasi atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua, hakim kasasi pada Mahkamah Agung telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan dua syarat tersebut maka, PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.
Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak berhak lagi menerima upah proses setelah putusan PHI berkekuatan hukum tetap. Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan batas waktu membayar upah proses dan upah skorsing sampai pada putusan PHI tingkat pertama adalah pendapat yang bertentangan dengan pengertian dari ‘berkekuatan hukum tetap’ itu sendiri.

B.     Pemutusan Hubungan Kerja Karena Melakukan Kesalahan Berat
Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158. Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP, sehingga untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas dasar pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi. Apabila hal tersebut terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
UU Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal 158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu perlintasan.
Contoh kasus seperti di atas bagi perusahaan lain mungkin tidak merupakan kesalahan berat, namun beda ceritanya bagi perusahaan terkait. Dalam praktik, sebagian praktisi menganggap bahwa kesalahan berat harus selalu tindak pidana sedangkan yang lain berpandangan kesalahan berat tidak selalu harus tindak pidana.

*      Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan. Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah:
penyelesaian kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :
a.       Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat ( eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
b.      Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang - undang Nomor 13 Tahun 2003.
c.       Dalam hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

 penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Untuk dapat dilakukan proses PHK dengan dasar kesalahan berat sebagaimana dimaksud diatas maka perlu adanya laporan polisi dari pihak perusahaan yang dalam hal ini berkedudukan sebagai korban tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja (XXXXXXXX). Sebagai pertimbangan perlu kiranya memahami prinsip-prinsip hukum pidana terkait suatu laporan polisi dapat dilanjutkan ketahap penetapan tersangka dan penuntutan di persidagan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :
1.       Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
2.        Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
 Dengan demikian sebagai sebuah antisipasi bagi pelapor agar proses hukum terhadap laporannya berjalan dengan baik haruslah mempiliki/ mengetahui bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
Dalam Pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut :
a.      keterangan saksi;
b.      keterangan ahli;
c.        surat;
d.      petunjuk;
e.       keterangan terdakwa.


Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Belum tuntas perbedaan penafsiran mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas. Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Mendasarkan pada uraian diatas serta praktik penerapan pemutusan hubungan kerja, maka ada beberapa opsi langkah hukum sebagai berikut:
1.      Pihak Perusahaan terlebih dahulu melakukan proses hukum pidana dengan melaporkan Pekerja XXXXXXXX Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia diwilayah tindak pidana tersebut dilakukan, hingga memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (incrach van gewijde), baru keudian setelah ada putusan pidana terhadap pekerja maka perusahaan dapat mengajukan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja ke PHI dengan dasar kesalahan berat, langkah ini merupakan prinsip dasar dalam penerapan PHK Berdasarkan Pasal 183 ayat (1) UU No.13 Tentang Ketenagakerjaan.
2.      Pihak Perusahaan dapat mengesampingkan opsi pertama diatas dengan tetap melanjutkan upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena kesalahan berat ke PHI, atas dasar tindakan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22  yang berbunyi setiap pekerja yang:  (i) mengetahui namun membiarkan suatu peristiwa / perbuatan yang dilakukan oleh rekan kerja serta pihak eksternal terkait yang menyebabkan kerugan bagi perusahaan, dan (ii) menerima uang dari rekan kerja dan / atau pihak eksternal terkait yang melakukan perbuatan/ peristiwa yang merugikan perusahaan tersebut.  Yang oleh karenya berdasarkan Pasal 97 ayat 3 huruf c  Perjanjian Kerja bersama, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat (PHK).
Pemutusan hubungan kerja dengan opsi ini adalah dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Bahwa tindakan perusahaan yang melakukan skosring terladap menerbitkan Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014 yang berlaku 30 Juni 2014 sampai dengan 6 (enam) bulan, dan kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014 telah memenuhi Pasal 161 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, apabila sebelum atau pada saat diterbutkannya surat skorsing tersebut di terbitkan surat peringatan (SP) terhadap pekerja yang di skorsing. Akan tetapi apabila tidak disertai dengan surat peringatan (SP) maka belum memenuhi Pasal 161 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Namun Pasal 161 ayat (2) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, membolehkan untuk tidak memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Apabila dalam perjanjian kerja bersama diatur menenai pengesampingan diharuskannya surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, sebelum dilakukannya pemutusan hubungan kerja.

  1. Kesimpulan Dan Saran

A.    Kesimpulan
a.       Keputusan perusahaan yang menjatuhkan skorsing kepada XXXXXXXX, dengan memberikan/ membayarkan upah sebesar 75 % dari gajii pokok adalah  bertentangan dengan  ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hal tersebut dikarenakan dalam pasal tersebut diterangkan bahwa “tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”. Ketentuan tersebut secara jelas mewajibkan perusahaan untuk membayarkan upah pekerja tersebut secara penuh (100% upah). Sedang yang dimaksud upah yang harus dibayar dalam hal ini adalah komponen upah pokok dan tunjangan tetap. Kewajiban membayar upah tersebut sampai Putusan Pengadilan hubungan industrial berkekuatan hukum tetap (incrach).
b.      Pihak Perusahaan dapat melanjutkan upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena kesalahan berat ke Pengadilan Hubungan Industrial, atas dasar tindakan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22. Pemutusan hubungan kerja atas dasar ketentuan diatas mengacu pada pada ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Konsekuensi hukum akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud adalah Pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

B.     Saran
1.      Selama masa skorsing atau proses penyelesaian perselisihan Perusahaan sebaiknya membayarkan upah pekerja tersebut secara penuh (100% upah). Dan ada baiknya jika masih dimungkinkan agar mempekerjakan pekerja sesuai skilnya sehingga tetap dapat berkontribusi memberikan  keuntungan bagi perusahaan, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa dipekerjakan atau tidak pihak perusahaan tetap berkewajiban untuk membayar upah yang biasa diterima hingga perselisihan berakhir (memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap).
2.      Pihak Perusahaan tetap melanjutkan upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena kesalahan berat ke Pengadilan Hubungan Industrial, atas dasar tindakan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22. Pemutusan hubungan kerja atas dasar ketentuan diatas mengacu pada pada ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan juga melakukan pendekatan persuasive kepada pekerja agar mau menerma Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud, dengan memberikan kompensasi seminimal mungkin;