Arti “Bukti Permulaan yang Cukup” dalam Hukum Acara
Pidana
Pasal 17
KUHAP menyatakan: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu? Apa
yang menjadi dasar bahwa bukti itu dinyatakan "cukup"?
Jawaban :
Intisari:
"Bukti permulaan yang cukup" pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) harus dimaknai minimal dua
alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih
atas pertanyaan Anda.
Bukti Permulaan yang Cukup
Sebelumnya,
mari kita simak bunyi lengkap Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai berikut:
Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
KUHAP dengan
tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP.
Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan
tindak pidana.[1][1]
Jadi, bicara
soal Pasal 17 KUHAP, maka pasal ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi:
Tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.
Merujuk pada
Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan
apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun kemudian, dalam putusannya
bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah
Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1
angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Alat bukti yang
sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Mahkamah
Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah
(alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan
“bukti yang cukup”. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan
pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi
seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat
memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan
sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang
cukup itu. Penjelasan lebih lanjut silakan Anda simak MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan
Objek Praperadilan.
Fungsi Bukti Permulaan yang Cukup
Terkait kedua
pasal ini, Chandra M Hamzah dalam
bukunya Penjelasan Hukum tentang Bukti
Permulaan yang Cukup menjelaskan bahwa pada dasarnya, fungsi bukti
permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu
merupakan prasyarat untuk:[2][2]
1. Melakukan penyidikan;
2. Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan
suatu tindak pidana.
Terhadap kategori
pertama, Chandra M. Hamzah menjelaskan bahwa fungsi bukti permulaan yang
cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana dan
selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan melakukan suatu penyidikan. Sedangkan
terhadap kategori kedua, fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti
permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan oleh
seseorang.[3][3]
Chandra M.
Hamzah mengutip pendapat dari Yahya
Harahap yang menyatakan bukti permulaan yang cukup setidaknya mengacu pada
standar minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP[4][4] yang berbunyi:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Landasan
berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara
proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut:[5][5]
Secara praktis bukti permulaan yang
cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal”
berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat
menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan
penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana,
setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
Chandra M.
Hamzah. Penjelasan Hukum tentang Bukti
Permulaan yang Cukup. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar