Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.
Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam makalah ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara (M. Yahya Harahap, 1988: 5).
Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari pengadilan untuk melaksanakannya (Abdul Manan, 2005: 313).
Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri. DASAR HUKUM EKSEKUSI Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :
- Pasal 195 – Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 – Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum);
- Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);
- Sedangkan Pasal 209 – Pasal 223 HIR/Pasal 242 – Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
- Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi);
- Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);
- Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).
ASAS EKSEKUSI
Untuk menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:
- Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni:
- Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
- Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:
- Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad);
- Putusan provisi;
- Putusan perdamaian;
- Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
- Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir).
- Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang;
- Menghukum atau memerintahkan “pengosongan“ sebidang tanah atau rumah;
- Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu;
- Menghukum atau memerintahkan “penghentian“ suatu perbuatan atau keadaan;
- Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ pembayaran sejumlah uang
- Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela
- Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]
- Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
MACAM EKSEKUSI
Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang” (M. Yahya Harahap, 1988: 20). Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 (dua) macam eksekusi, yaitu (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg (Abdul Manan, 2005: 316).
- Eksekusi Riil
- Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang