LEGAL
OPINION
Sengketa
Perseliihan Hunungan Industrial di PT XXXXXXXXX
I.
PERMASALAHAN
1. Apakah Keputusan PT XXXXXXXXX yang melakukan Pembebasan
Tugas Sementara (skorsing) terhadap karyawan bernama Sdr.XXXXXXXX telah sesuai
dengan hukum?
2. Apakah Keputusan PT XXXXXXXXX yang melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja berdasarkan kesalahan berat terhadap karyawan XXXXXXXX sudah
sesuai dan benar secara hukum ? dan bagaiamana langkah hukum yang harus
dilakukan oleh PT XXXXXXXXX dalam menanggapi gugatan Pemutusan hubungan Kerja oleh
Pekerja XXXXXXXX pada Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri
Serang Banten ?
II.
DASAR
PERUNDANG-UNDANGAN
-
Undang-Undang Republik
Indonesianomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
-
Undang-Undang Republik
Indonesianomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
-
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : Se-13/Men/Sj-Hk/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji
Materil Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
III.
DATA-DATA
DAN DOKUMEN YANG DIPERIKSA
1. Surat
Keputusan Direksi PT XXXXXXXXX No: 29 /C/DU-KW/KPTS/III/2000Tentang
Pengangkatan Status Karyawan Organik Masa Percobaan Menjadi Karyawan tetap
(organik);
2. Surat
Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014
3. Surat
Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014
4. Surat
Keputusan Direksi PT XXXXXXXXX No: 058B/DU-KW/KPTS/IV/2015 Tentang
Pemberhentian Dengan Tidak Hormat;
5. Risalah
Bipartit
6. Risalah
Mediasi
7. Anjuran
Pemerintah Kota Cilegon Dinas Tenaga Kerja No 560/ 715/ Hubin tertangal 26
Februari 2015
8. Serta
dokumen-dokumen perincian hak-hak Pekerja XXXXXXXX
IV.
KASUS
POSISI
- Bahwa
sekitar bulan Juli 2014 PT XXXXXXXXX kehilangan barang hasil produksi senilai
kurang lebih Rp. 15.000.000.000,-, yang diduga dilakukan oleh orang-orang yang
bekerjasama melibatkan orang dalam perusahaan (karyawan);
-
Bahwa Sdr.XXXXXXXX,
pekerja / Karyawan PT XXXXXXXXX, dengan status tenaga kerja organic / tetap,
NIK: 990050, Tanggal lahir: 27 Oktober 1966 dan mempunyai masa kerja di
perusahaan selama 15 Tahun 06 Bulan ( terhitung sejak tanggal 25-10-1999 sampai
dengan 05-04-2015), dengan gaji terakhir Rp.3.866.711,- , diduga telah melakukan penyalahgunaan jabatan serta
telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan;
- Bahwa
telah terjadi perselisihan hubungan industrial antara perusahaan dengan
karyawan sebagai akibat dari adanya indikasi bahwa karyawan tersebut telah
melakukan
- Bahwa
atas penyalahgunaan jabatan tersebut XXXXXXXX telah melanggar Perjanjian Kerja
Bersama, melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan kerugian bagi
perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan c, dan psal 84
ayat 2 huruf b angka 22 yang berbunyi
setiap pekerja yang: (i) mengetahui
namun membiarkan suatu peristiwa / perbuatan yang dilakukan oleh rekan kerja
serta pihak eksternal terkait yang menyebabkan kerugan bagi perusahaan, dan
(ii) menerima uang dari rekan kerja dan / atau pihak eksternal terkait yang
melakukan perbuatan/ peristiwa yang merugikan perusahaan tersebut.
- dan
olehkarenya berdasarkan Pasal 97 ayat 3 huruf c
Perjanjian Kerja bersama, pekerja dapat diberikan sanksi yakni:
perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat (PHK);
- Bahwa
akibat perbuatan XXXXXXXX (Pekerja) yang telah merugikan perusahaan, Perusahaan
menerbitkan Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014 yang berlaku
30 Juni 2014 sampai dengan 6 (enam) bulan kedepan, yang kemudian dilanjutkan
dengan diterbitkannya Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014;
- bahwa
pada tanggal 21 November 2014 dilakukan proses bipateri namun tidak terdapat
titik temu;
- pada
2 Desember 2014 mulai dilakukan mediasi namun juga tidak diperoleh kesepakatan
bersama yang akhirnya Pemerintah Kota Cilegon Dinas Tenaga Kerja menerbitkan
anjuran No 560/ 715/ Hubin tertangal 26 Februari 2015. Yang pada pokoknya
berisi: (1) agar pihak PT XXXXXXXXX mempekerjakan kembali Sdr. XXXXXXXX, (2)
agar pihak PT XXXXXXXXX membayarkan upah skirsing kepada pekerja/ buruh yang
sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/ buruh;
- pada
tanggal 06 April 2015 perusahaan menerbitkan Surat Keputusan Direksi PT
XXXXXXXXX No: 058B/DU-KW/KPTS/IV/2015 Tentang Pemberhentian Dengan Tidak
Hormat;
- pekerja
mengajukan gugatan gugatan
Pemutusan hubungan Kerja oleh Pekerja XXXXXXXX pada Pengadilan Hubungan
Industrial Pada Pengadilan Negeri Serang Banten, sebagaimana register perkara
Nomor: 28/ Pdt.sus-PHI/2015/PN.Srg, yang dalam petitumnya meminta: (1)
agar pihak PT XXXXXXXXX mempekerjakan kembali Sdr. XXXXXXXX, (2) agar pihak PT
XXXXXXXXX membayarkan upah skirsing kepada pekerja/ buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/ buruh;
V.
ANALISA
HUKUM
A. Penerapan
Skorsing Terhadap Pekerja
Tindakan skorsing diperbolehkan oleh
undang-undang, asalkan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa
diterima oleh karyawan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3)
UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi ketentuan pasal
tersebut tidak menjelaskan sampai kapan upah beserta hak-hak lain harus tetap
dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan yang sedang diskorsing.
Pada dasarnya Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Namun
demikian Tindakan skorsing diperbolehkan oleh undang-undang, asalkan tetap
membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima oleh karyawan, hal
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan:
“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap
wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Berkaitan dengan keputusan perusahaan yang
menjatuhkan skorsing kepada XXXXXXXX, dengan memberikan/ membayarkan upah sebesar
75 % dari gaji pokok maka kami berpendapat bahwa tidakan perusahaan
bertentangan dengan ketentuan Pasal 155
ayat (3) UU No 13 tahun 2003, hal tersebut dikarenakan dalam pasal tersebut
diterangkan bahwa “tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh”. Ketentuan tersebut secara jelas mewajibkan perusahaan untuk
membayarkan upah pekerja tersebut secara penuh (100% upah). Sedang yang
dimaksud upah yang harus dibayar dalam hal ini adalah komponen upah pokok dan
tunjangan tetap.
Pertanyaan lebih lanjut adalah sampai kapan
kewajiban perusahaan untuk membayar upah bagi pekerja? Pertanyaan terebut dapat
dijawab dari Pasal 155 ayat (2) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang menerangkan bahwa “Selama putusan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya.”
Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011, tentang
permohonan Pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD
1945, tanggal 19 September 2011, yang amar putusannya menyatakan:
Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU
No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan
hukum tetap’.
Dengan putusan tersebut batas waktu
pembayaran upah skorsing atau upah proses terhadap pekerja yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengalami perubahan. Oleh karena
penafsiran Pasal 155 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
mengenai anak kalimat “belum ditetapkan” harus dimaknai “belum berkekuatan
hukum tetap”.
Pertanyaan selanjutnya adalah kapan putusan PHI mengenai perselisihan PHK
dinyatakan berkekuatan hukum tetap? Putusan PHI dianggap berkekuatan hukum
tetap apabila memenuhi salah satu dari dua syarat berikut ini. Pertama,
salah satu pihak tidak mengajukan kasasi atas putusan PHI tingkat pertama. Kedua,
hakim kasasi pada Mahkamah Agung telah memutus permohonan kasasi. Berdasarkan
dua syarat tersebut maka, PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus
menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila
perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai
putusan kasasi diucapkan.
Dengan demikian, hakim
dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan.
Konsekuensinya, pekerja/buruh tidak berhak lagi menerima upah proses setelah
putusan PHI berkekuatan hukum tetap. Uraian di atas sekaligus menegaskan bahwa
pendapat yang menyatakan batas waktu membayar upah proses dan upah skorsing
sampai pada putusan PHI tingkat pertama adalah pendapat yang bertentangan
dengan pengertian dari ‘berkekuatan hukum tetap’ itu sendiri.
B. Pemutusan
Hubungan Kerja Karena Melakukan Kesalahan Berat
Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan Pemutusan Hubungan
Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158.
Alasan kesalahan berat pada pokoknya mengatur tentang perbuatan pidana yang
telah diatur dalam KUHP, sehingga
untuk menyatakan pekerja telah melakukan kesalahan berat harus atas dasar
pekerja tertangkap tangan, ada pengakuan pekerja yang bersangkutan atau bukti
lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak berwenang, di perusahaan
yang bersangkutan, dengan didukung oleh dua orang saksi. Apabila hal tersebut
terpenuhi maka pengusaha diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan
pemutusan hubungan kerja secara sepihak tanpa wajib membayar uang penggantian
hak, uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja.
UU Ketenagakerjaan sendiri tidak
memberikan pengertian “kesalahan berat”, sehingga dalam praktik kualifikasi
kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 ayat (1) menjadi terbatas. Atau
dengan perkataan lain, tidak boleh ada kualifikasi perbuatan lain yang
digolongkan menjadi kesalahan berat.
Padahal umumnya setiap sektor
industri atau jasa memiliki kualifikasi kesalahan berat di luar ketentuan Pasal
158 ayat (1). Contohnya kesalahan berat bagi pekerja yang merokok di lokasi
kerja berbahaya yang mudah terbakar seperti di perusahaan minyak dan gas. Atau
penjaga perlintasan kereta yang membiarkan kereta lewat tanpa menutup pintu
perlintasan.
Contoh kasus seperti di atas bagi
perusahaan lain mungkin tidak merupakan kesalahan berat, namun beda ceritanya
bagi perusahaan terkait. Dalam praktik, sebagian praktisi menganggap bahwa
kesalahan berat harus selalu tindak pidana sedangkan yang lain berpandangan
kesalahan berat tidak selalu harus tindak pidana.

Ketentuan Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga
tidak bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum
tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan. Atas
permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan
putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya
pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pasca putusan MK, muncul banyak
penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai
pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang
dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Menyikapi hal
tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005
menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat
edaran menteri itu adalah:
penyelesaian kasus
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :
a.
Pengusaha yang akan
melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat ( eks Pasal
158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
b.
Apabila pekerja ditahan
oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan
sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang - undang Nomor 13
Tahun 2003.
c. Dalam
hal terdapat " alasan mendesak " yang mengakibatkan
tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh
upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja
karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal. Yakni,
PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum
tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka
berlaku ketentuan pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
Untuk dapat dilakukan proses PHK
dengan dasar kesalahan berat sebagaimana dimaksud diatas maka perlu adanya
laporan polisi dari pihak perusahaan yang dalam hal ini berkedudukan sebagai
korban tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja (XXXXXXXX). Sebagai
pertimbangan perlu kiranya memahami prinsip-prinsip hukum pidana terkait suatu
laporan polisi dapat dilanjutkan ketahap penetapan tersangka dan penuntutan di
persidagan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1)
dan ayat (2) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian
Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :
1. Status
sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah
hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup
yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
2. Untuk
menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua)
jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar
perkara.
Dengan demikian sebagai sebuah antisipasi bagi pelapor agar proses
hukum terhadap laporannya berjalan dengan baik haruslah mempiliki/ mengetahui bukti
permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
Dalam Pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut :
a.
keterangan
saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e. keterangan
terdakwa.
Selain itu, surat edaran menteri
juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan
kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Belum tuntas
perbedaan penafsiran mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian
yang jelas. Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata
ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan
ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Mendasarkan
pada uraian diatas serta praktik penerapan pemutusan hubungan kerja, maka ada
beberapa opsi langkah hukum sebagai berikut:
1.
Pihak Perusahaan terlebih dahulu
melakukan proses hukum pidana dengan melaporkan Pekerja XXXXXXXX Pada Kepolisian
Negara Republik Indonesia diwilayah tindak pidana tersebut dilakukan, hingga
memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (incrach van gewijde), baru keudian setelah ada putusan pidana
terhadap pekerja maka perusahaan dapat mengajukan gugatan Pemutusan Hubungan
Kerja ke PHI dengan dasar kesalahan berat, langkah ini merupakan prinsip dasar
dalam penerapan PHK Berdasarkan Pasal 183 ayat (1) UU No.13 Tentang
Ketenagakerjaan.
2. Pihak
Perusahaan dapat mengesampingkan opsi pertama
diatas dengan tetap melanjutkan upaya pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja karena kesalahan berat ke PHI, atas dasar tindakan penyalahgunaan
jabatan yang dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja
Bersama dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang
mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2
huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22 yang berbunyi setiap pekerja yang: (i) mengetahui namun membiarkan suatu
peristiwa / perbuatan yang dilakukan oleh rekan kerja serta pihak eksternal
terkait yang menyebabkan kerugan bagi perusahaan, dan (ii) menerima uang dari
rekan kerja dan / atau pihak eksternal terkait yang melakukan perbuatan/
peristiwa yang merugikan perusahaan tersebut. Yang oleh karenya berdasarkan Pasal 97 ayat 3
huruf c Perjanjian Kerja bersama,
perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tidak dengan hormat (PHK).
Pemutusan hubungan
kerja dengan opsi ini adalah dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pasal
161
(1)
Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut.
(2)
Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku
untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
(3)Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Bahwa
tindakan perusahaan yang melakukan skosring terladap menerbitkan Surat
Pembebasan Tugas Sementara No: 152/DKUKW/VI/2014 yang berlaku 30 Juni 2014
sampai dengan 6 (enam) bulan, dan kemudian dilanjutkan dengan diterbitkannya
Surat Pembebasan Tugas Sementara No: 301/DKUKW/XII/2014 telah memenuhi Pasal
161 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, apabila
sebelum atau pada saat diterbutkannya surat skorsing tersebut di terbitkan
surat peringatan (SP) terhadap pekerja yang di skorsing.
Akan tetapi apabila tidak disertai dengan surat
peringatan (SP) maka belum memenuhi Pasal 161 ayat
(1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Namun Pasal
161 ayat (2) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
membolehkan untuk tidak memberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Apabila dalam perjanjian kerja bersama diatur
menenai pengesampingan diharuskannya surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut, sebelum dilakukannya pemutusan hubungan kerja.
- Kesimpulan Dan Saran
A.
Kesimpulan
a.
Keputusan perusahaan yang
menjatuhkan skorsing kepada XXXXXXXX, dengan memberikan/ membayarkan upah sebesar
75 % dari gajii pokok adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, hal tersebut dikarenakan dalam pasal tersebut
diterangkan bahwa “tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh”. Ketentuan tersebut secara jelas mewajibkan perusahaan untuk
membayarkan upah pekerja tersebut secara penuh (100% upah). Sedang yang
dimaksud upah yang harus dibayar dalam hal ini adalah komponen upah pokok dan
tunjangan tetap. Kewajiban membayar upah tersebut sampai Putusan Pengadilan hubungan
industrial berkekuatan hukum tetap
(incrach).
b.
Pihak Perusahaan dapat
melanjutkan upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena kesalahan
berat ke Pengadilan Hubungan Industrial, atas dasar tindakan penyalahgunaan
jabatan yang dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja
Bersama dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang
mengakibatkan kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2
huruf a dan c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22. Pemutusan hubungan kerja
atas dasar ketentuan diatas mengacu pada pada ketentuan Pasal 161 UU No.13
tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Konsekuensi hukum akibat Pemutusan Hubungan
Kerja sebagaimana dimaksud adalah Pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
B.
Saran
1.
Selama masa skorsing atau
proses penyelesaian perselisihan Perusahaan sebaiknya membayarkan upah pekerja
tersebut secara penuh (100% upah). Dan ada baiknya jika masih dimungkinkan agar
mempekerjakan pekerja sesuai skilnya sehingga tetap dapat berkontribusi
memberikan keuntungan bagi perusahaan,
hal tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa dipekerjakan atau tidak pihak
perusahaan tetap berkewajiban untuk membayar upah yang biasa diterima hingga
perselisihan berakhir (memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap).
2.
Pihak Perusahaan tetap melanjutkan
upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena kesalahan berat ke
Pengadilan Hubungan Industrial, atas dasar tindakan penyalahgunaan jabatan yang
dilakukan oleh pekerja XXXXXXXX, yang berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama
dapat dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran berat yang mengakibatkan
kerugian bagi perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat 2 huruf a dan
c, dan psal 84 ayat 2 huruf b angka 22. Pemutusan hubungan kerja atas dasar
ketentuan diatas mengacu pada pada ketentuan Pasal 161 UU No.13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. Dengan juga melakukan pendekatan persuasive kepada
pekerja agar mau menerma Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud, dengan
memberikan kompensasi seminimal mungkin;